Industri Kreatif di Indonesia

Berikut adalah kutipan dari Tempo Interaktif, mengulas tentang Industri Kreatif di Indonesia

Tempo Interaktif, Edisi. 20/XXXV/10 - 16 Juli 2006:
Oleh : Metta Dharmasaputra

Ekonomi & Bisnis Kreatif: Jika Birokrat Belum Kreatif
Sejumlah negara berpacu mengembangkan industri kreatif. Pemerintah Indonesia masih adem-ayem.

Di sebuah ”kastil” bergaya Eropa, seratusan anak muda asyik berkutat di muka layar komputer. Dari tangan-tangan terampil mereka, sejumlah karya film animasi lahir dan menembus pasar Amerika dan Eropa. Dua di antaranya bahkan diganjar penghargaan internasional.

Castle Production
Carlos Adventure dinobatkan sebagai film serial animasi anak-anak terbaik dalam Festival Animasi Internasional di Tenerife, Spanyol, pada 2002. Satu film lagi, Jim Elliot Story, menyabet Gol-den Remi Awards 2006 dalam ajang festival film internasional di Houston, Texas, Amerika Serikat. Mungkin Anda tak percaya, kedua film itu bukan lahir dari raja film di Amerika atau Eropa, melainkan dari tangan anak-anak muda kreatif berusia 20-30 tahun. Mereka pun hanya berkantor di sebuah ruko berlantai lima di kawasan Pasar Baru, Jakarta, yang lebih dikenal sebagai pusat belanja tekstil dan sepatu. Di sanalah Castle Production, yang berdiri sejak 1998, bermarkas. Menurut Ardian Elkana, pemilik sekaligus pemimpin perusahaan animasi terbesar di Indonesia ini, dalam setahun perusahaannya memproduksi 13 episode film animasi dua dimensi (2D) dan 13 episode tiga dimensi (3D). Semua filmnya itu, sejak enam tahun silam, diekspor dan didanai lembaga asing.

Animasi Asing
Pembiayaan datang dari sejumlah negara Eropa seperti Spanyol, Prancis, Inggris, Jerman, dan Swiss. Produser dan penulis skenarionya dari Amerika. ”Kalau di dalam negeri, tak ada yang sanggup bayar,” ujar master of business administration Universitas Chicago, Amerika Serikat itu. Mudah dipahami, tarif per episode dipatok US$ 40 ribu (sekitar Rp 370 juta). Tarif ini sesungguhnya terbilang kecil bila dibandingkan dengan patokan tarif raksasa animasi Amerika, Disney, yang mencapai US$ 300 ribu. Namun, berkat tarif murah itulah, Indonesia ikut dilirik para pemodal yang mulai mengalihkan pesanannya dari Korea dan Taiwan —yang dinilai sudah terlalu mahal— ke India, Cina, atau Filipina. Sayang, Indonesia tak mampu menggarap maksimal ceruk rezeki nomplok ini. Satu di antara kendalanya adalah keterbatasan sumber daya manusia di bidang animasi. Bandingkan dengan India. Sedikitnya 400 animator bekerja di perusahaan animasi terbesar di sana. Tak mengherankan, ratusan film animasi bisa dipasoknya setiap tahun ke MGM, Disney, ataupun Universal.

Multimedia & Desain Grafis
Besarnya peluang mendulang rezeki dari industri kreatif juga datang dari bidang multimedia dan desain grafis. PT Elasitas, yang didirikan Calvin Kizana, 32 tahun, termasuk yang berkibar lewat pembuatan situs (website) Nokia di telepon genggam asal Finlandia itu. Desain bookmark Nokia ciptaan programmer yang pernah bekerja di Singapura dan Amerika Serikat ini pun kini telah diterjemahkan ke 17 bahasa dan dipakai di 35 negara. Berkat keberhasilanya itulah, perusahaannya terus berkembang. Dari semula hanya berbekal satu perangkat komputer dan satu karyawan, kini telah ada 60 pekerja.

Desain Kemasan
Lahan subur lainnya adalah desain kemasan produk. Di bidang ini, prestasi Indonesia sebetulnya cukup mencorong. Buktinya, desain kemasan es krim Wall’s karya PT AdMire diekspor ke Thailand. Untuk soal harga, pemilik AdMire, Andi S. Boediman, mengakui karyanya dibayar jauh lebih murah ketimbang produk perusahaan asing. Di Indonesia, satu karya desain hanya dihargai Rp 10-25 juta, sedangkan untuk satu desain kaleng margarin Blue Band di Inggris, tarifnya mencapai Rp 800 juta. Ketua Forum Grafika Digital ini mengingatkan, Indonesia harus segera berbenah agar bisa bersaing dalam kancah industri kreatif dunia. Sebab, kata pembuat animasi pertama logo siaran Seputar Indonesia di stasiun televisi RCTI 10 tahun silam ini, ”Dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia saja, kita sudah tertinggal lima-sepuluh tahun.”

Industri Kreatif
INDUSTRI kreatif pada dasarnya merupakan industri berbasiskan kreativitas, keahlian, dan bakat individual, yang berpotensi mendatangkan kemakmuran dan penciptaan lapangan kerja. Dari hasil pemetaan di Inggris, yang dimulai pada 1998, diketahui bahwa industri ini terbilang paling cepat pertumbuhannya. Pada 2002, sektor berbasis aset kekayaan intelektual (intellectual property) ini menyumbang 7,9 persen dari produk domestik bruto (GDP) Inggris. Dalam rentang 1997-2000, sektor ini tumbuh rata-rata 9 persen per tahun—jauh di atas pertumbuhan ekonomi Inggris yang hanya 2,8 persen. Sebanyak 1,9 juta tenaga kerja terserap setiap tahunnya. Menurut Andi, inilah tahap keempat dalam proses perkembangan ekonomi suatu negara, setelah melewati periode ekonomi berbasis pertanian, industri, dan informasi. Di Inggris, ada 13 sektor yang masuk kategori industri ini. Di antaranya advertising, arsitektur, desain, film, musik, seni pertunjukan, televisi dan radio, serta jasa komputer dan peranti lunak. Dalam perkembangannya, industri kreatif tumbuh sangat mencengangkan. Lihat saja nilai pasar IBM, Intel, dan Microsoft. Nilainya 2,3 kali lebih besar dari industri otomotif. Lihat pula raksasa film Disney, yang nilai perusahaannya membengkak dari US$ 2 miliar menjadi US$ 22 miliar hanya dalam sepuluh tahun.

Industri Games
Lebih dahsyat lagi jika melihat potensi ekonomi yang dihasilkan industri games dunia. Nilai pasarnya pada 2004 saja sudah mencapai US$ 20 miliar (sekitar Rp 186 triliun). Yang fantastis, pencapaian ini cuma butuh waktu 20 tahun—lebih cepat tiga kali lipat dari industri film Hollywood. Pesatnya pertumbuhan industri games merupakan berkah tersendiri buat Eropa. Dari biaya unduh (download) saja, kawasan ini diperkirakan bakal meraup US$ 2 miliar (sekitar Rp 18,6 triliun) pada 2007, dengan tingkat pertumbuhan 25 persen per tahun.

Negara Asia dan Industri Kreatif
Sejumlah negara di Asia yang giat mengembangkan industri informasi teknologi dan digital, seperti India, Jepang, Korea, Hong Kong, dan Taiwan, juga bakal ketiban rezeki nomplok. Di India, misalnya, industri animasi tahun lalu sudah mencapai US$ 1,5 miliar (sekitar Rp 14 triliun), dan bakal tumbuh 30 persen per tahun. Belum lagi perolehan dari 700-800 film yang dihasilkannya dalam setahun. Sadar akan potensi besar ini, Singapura terus berbenah. Mereka menggelar sebuah program terencana pengembangan sentra industri kreatif, yang dikenal dengan sebutan creative cluster. Tiga kluster industri kreatif yang dikembangkan adalah media (kluster Media 21), desain (Design Singapore), dan seni-budaya (Renaissance City). Lewat program inilah basis perekonomian Singapura akan bergerak dari ekonomi informasi ke ekonomi kreatif, dengan memadukan kreativitas teknologi, ekonomi, dan seni-budaya. Targetnya, sumbangan industri kreatif terhadap PDB Singapura yang kini masih di kisaran 3 persen, pada 2012 nanti sudah mencapai 6-7 persen. ”Singapura pun bercita-cita menjadi Kota Kebangkitan (Renaissance City) yang menjadi pusat peradaban Asia modern,” kata Linda Hoemar Abidin, Ketua Dewan Pelaksana Yayasan Kelola.

Indonesia?
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Industri kreatif ternyata belum cukup mendapat perhatian serius pemerintah. ”Selama ini, birokrat hanya terpaku pada basis sumber daya ekonomi,” kata pengamat bisnis Kafi Kurnia. Padahal potensi kreativitas yang banyak dimiliki Indonesia bisa mendatangkan nilai tambah bagi perekonomian. Sebut saja potensi industri batik, mebel, lukisan, dan patung, yang berserak di sepanjang Jawa-Bali. Selama ini, banyak industri rakyat ini mati suri. Kalaupun jalan, seadanya. Akibatnya, nilai tambah yang tercipta kebanyakan dinikmati para pebisnis asing. Kafi mencontohkan, di sebuah butik di Las Vegas, Amerika, sepotong kain kebaya asal Indonesia dijual dengan bandrol Rp 200 juta!

Di bidang film, kontribusinya dalam perekonomian juga terbilang tidak kecil. Banyak tenaga kerja diserap dalam proses produksi film lokal, yang tahun lalu mencapai 50 buah. Pemerintah pun kecipratan rezeki. Sebab, sekitar 20 persen dari hasil penjualan tiket harus disetorkan sebagai pajak. Ini berarti, dari film Ada Apa dengan Cinta saja, misalnya, yang mendatangkan pemasukan Rp 24 miliar, sekitar Rp 5 miliar mengalir ke kas negara. Belum lagi jika pembuatan film dilakukan di daerah. ”Setengah dari biaya itu diserap daerah,” kata Mira Lesmana, produser. ”Ini yang tidak disadari pemerintah daerah.” Berangkat dari kenyataan itu, British Council kini mulai melakukan pendataan industri kreatif di Indonesia. Dari sini, kata Yudhi Soerjoatmodjo, Art Manager British Council, ”Akan diketahui seberapa penting kontribusinya terhadap perekonomian Indonesia.”

Comments