Guru Gemar Menggambar
Tino Sidin selalu tampil khas, berkemeja batik garis lengkung, berbaret hitam dengan kuncir di atasnya, tatkala mengasuh gemar menggambar di layar TVRI tahun 1978. Orang Jawa kelahiran Tebingtinggi, Sumatera Utara, 25 November 1925, itu sangat akrab dengan anak-anak pada dekade delapan puluhan.
Lulusan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta, 1963, yang terkenal setelah mengasuh acara Gemar Menggambar di TVRI, sempat ngambek, ketika acara mingguannya di TVRI diselingi Kak Alex, tanpa pemberitahuan kepadanya.
Pasalnya, ada yang menganggap sistem Pak Tino bisa merusakkan kreativitas anak. Sedangkan yang lain berpandangan justru karena caranya yang kocak dapat membangkitkan minat menggambar para bocah.
''TV bukan sekolah menggambar,'' kata Tino. Acara Gemar Menggambar, menurut dia, harus bisa dinikmati semua golongan dan usia. Menggambar ibarat mengeja abjad, sedangkan melukis bagaikan mengarang novel. Karena itu, prinsipnya mengajar adalah: ''Membuat anak suka menggambar, itu saja.''
Putra bekas anggota pasukan Marsose di zaman Belanda itu suka menggambar di masa kecilnya. Padahal, dilarang oleh kakeknya, seorang sais pedati, karena dianggap tidak bisa menghidupi.
Menempati rumah kontrakan di Taman Aries, Jakarta Barat, Tino juga mengajar menggambar di tempat lainnya di Jakarta, seperti Pasar Seni Ancol, Pluit, dan Kepa Duri. Ia memimpin pelajaran menggambar di sejumlah TK dan SD Jakarta, lewat ''Taman Tino Sidin'' yang juga dikembangkan di Surabaya, Yogyakarta, dan Padang. Ini, katanya, diilhami Taman Ismail Marzuki. ''Karena Taman Tino Sidin tak ada yang bikin, saya bikin sendiri,'' tambahnya sambil tertawa.
Penggemar jalan-jalan ke ''gunung yang ada mistiknya'' ini telah menghasilkan sejumlah buku. Antara lain, Bawang Merah Bawah Putih, dan Ibu Pertiwi, terbitan Balai Pustaka. Mari Menggambar macet setelah terbit 10 jilid. Malasnya timbul, katanya, setelah buku itu dibajak orang.
Karirinya diawali sebagai pegawai Kementerian Penerangan Jepang (1944-1945). Kemudian menjadi Polisi Tentara di Sumatera (1945) dan guru menggambar di SMP Tebingtinggi (1945). Dia pun aktif sebagai Tentara Pelajar Brigade 17 (1946-1949). Kemudian menjadi Guru Taman Siswa di Tebingtinggi (1950-1952).
Ketua Palang Merah Remaja di Langkat dan Ketua ASRI di Binjai, dilakoninya tahun 1953-1957. Tino pun sempat menjadi Sekretaris Veteran di Deli Serdang (1958-1959).
Lalu menjabat Ketua Pusat Latihan Lukis Anak (PLLA) dan Acara Gemar Menggambar TVRI Yogya (1969-1977). Kemudian aktif sebagai Penatar Guru Gambar SD Seluruh Indonesia (1980-1981) seraya tampil sebagai pengasuh Acara Gemar Menggambar TVRI Pusat (1978), mengajarkan gambar di Pasar Seni, Ancol, dan memimpinan Taman Tino Sidin, Surabaya dan Yogyakarta. ►e-ti (sumber pdat)
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
Tino Sidin selalu tampil khas, berkemeja batik garis lengkung, berbaret hitam dengan kuncir di atasnya, tatkala mengasuh gemar menggambar di layar TVRI tahun 1978. Orang Jawa kelahiran Tebingtinggi, Sumatera Utara, 25 November 1925, itu sangat akrab dengan anak-anak pada dekade delapan puluhan.
Lulusan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta, 1963, yang terkenal setelah mengasuh acara Gemar Menggambar di TVRI, sempat ngambek, ketika acara mingguannya di TVRI diselingi Kak Alex, tanpa pemberitahuan kepadanya.
Pasalnya, ada yang menganggap sistem Pak Tino bisa merusakkan kreativitas anak. Sedangkan yang lain berpandangan justru karena caranya yang kocak dapat membangkitkan minat menggambar para bocah.
''TV bukan sekolah menggambar,'' kata Tino. Acara Gemar Menggambar, menurut dia, harus bisa dinikmati semua golongan dan usia. Menggambar ibarat mengeja abjad, sedangkan melukis bagaikan mengarang novel. Karena itu, prinsipnya mengajar adalah: ''Membuat anak suka menggambar, itu saja.''
Putra bekas anggota pasukan Marsose di zaman Belanda itu suka menggambar di masa kecilnya. Padahal, dilarang oleh kakeknya, seorang sais pedati, karena dianggap tidak bisa menghidupi.
Menempati rumah kontrakan di Taman Aries, Jakarta Barat, Tino juga mengajar menggambar di tempat lainnya di Jakarta, seperti Pasar Seni Ancol, Pluit, dan Kepa Duri. Ia memimpin pelajaran menggambar di sejumlah TK dan SD Jakarta, lewat ''Taman Tino Sidin'' yang juga dikembangkan di Surabaya, Yogyakarta, dan Padang. Ini, katanya, diilhami Taman Ismail Marzuki. ''Karena Taman Tino Sidin tak ada yang bikin, saya bikin sendiri,'' tambahnya sambil tertawa.
Penggemar jalan-jalan ke ''gunung yang ada mistiknya'' ini telah menghasilkan sejumlah buku. Antara lain, Bawang Merah Bawah Putih, dan Ibu Pertiwi, terbitan Balai Pustaka. Mari Menggambar macet setelah terbit 10 jilid. Malasnya timbul, katanya, setelah buku itu dibajak orang.
Karirinya diawali sebagai pegawai Kementerian Penerangan Jepang (1944-1945). Kemudian menjadi Polisi Tentara di Sumatera (1945) dan guru menggambar di SMP Tebingtinggi (1945). Dia pun aktif sebagai Tentara Pelajar Brigade 17 (1946-1949). Kemudian menjadi Guru Taman Siswa di Tebingtinggi (1950-1952).
Ketua Palang Merah Remaja di Langkat dan Ketua ASRI di Binjai, dilakoninya tahun 1953-1957. Tino pun sempat menjadi Sekretaris Veteran di Deli Serdang (1958-1959).
Lalu menjabat Ketua Pusat Latihan Lukis Anak (PLLA) dan Acara Gemar Menggambar TVRI Yogya (1969-1977). Kemudian aktif sebagai Penatar Guru Gambar SD Seluruh Indonesia (1980-1981) seraya tampil sebagai pengasuh Acara Gemar Menggambar TVRI Pusat (1978), mengajarkan gambar di Pasar Seni, Ancol, dan memimpinan Taman Tino Sidin, Surabaya dan Yogyakarta. ►e-ti (sumber pdat)
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
Comments